Sabtu, 15 Oktober 2011

Telaah kritis terhadap "permakanan" mahasiswa TB dan ID STKS TA. 2012

Bertempat di Aula Lantai III STKS Bandung, tanggal 13 Oktober 2011, telah diadakan sosialisai mengenai wacana sistem "permakanan" untuk mahasiswa TB dan ID pada tahun 2012. Wacana ini diawali suatu pemikiran bahwa sistem kontrak dengan pihak ke tiga dipandang mengandung suatu konsekuensi hukum tertentu. Terungkap dalam sosialisai itu, terlihat bahwa pihak lembaga berupaya untuk mencari solusi untuk meminimalkan konsekuensi hukum terhadap sistem permakanan yang sudah ada saat ini. Sehingga pihak lembaga melakukan studi banding untuk melihat, membandingkan dan mengkomparasikan sistem permakanan di PTK lainnya di Indonesia. Singkatnya, hasil dari studi banding itu adalah wacana untuk melakukan perubahan sistem permakanan selama ini, dengan sistem tunjangan hidup (jadup).
Konsep tunjangan hidup walau masih merupakan draft, namun cukup menarik dan perlu di apresiasi. Dengan jadup ini maka anggaran makan mahasiswa akan diberikan dalam bentuk uang cash. Dengan kata lain, uang dari  APBN (Kemensos RI) akan di transfer ke rekening mahasiswa. Kebijakan ini sejalan dengan ekspektasi mahasiswa selama ini, karena sistem yang selama ini diterapkan dipandang perlu disempurnakan.
Namun ada fakta menarik dari wacana tersebut, yang dapat saya uraikan dalam telaah dibawah ini:
Pertama, Apa yang terjadi sesungguhnya selama ini pada sistem kontrak dengan pihak ke tiga. Sehingga pihak lembaga secara mendadak mau melakukan evaluasi terhadap sistem yang sudah ada. Tentu ada suatu persoalan yang cukup urgen, walau secara jelas kita tidak tahu tentang persoalan itu. Kedua, Adanya keharusan bagi mahasiswa untuk melakukan kesepakatan dengan pihak katering (bukan kontrak). Kesepakatan ini dimediasi oleh pihak lembaga STKS. Bentuk kongkritnya mahasiswadi berikan kebebasan untuk melakukan negoisasi dengan pihak katering mengenai harga dan konten makanan yang disediakan. Ketiga, Akibat dari kesepakatan dengan pihak katering itu maka berkonsekuensi pada keharusan mahasiswa untuk tetap makan di kampus. Jadi uang yang di tranfer ke rekening mahasiswa itu, akan disishkan sebagian untuk membayar makan di katering, yang besarannya disesuaikan dengan hasil deal-deal-an dengan pihak ke tiga. Keempat, Alasan yang digunakan oleh pihak lembaga tentang keharusan makan di kampus adalah PEMBINAAN. Alasan ini mengundang perdebatan panjang, karena dimana relevansi makan di kampus dengan pembinaan yang dilakukan lembaga. Toh, faktanya ketika mahasiswa makan di kampus (dapur) tidak ada pengawas atau pembina dari lembaga yang melakukan fungsi pembinaan itu. Artinya mahasiswa makan menurut pola dan cara masing-masing, sesuai dengan kehendak sendiri. Alasan inilah yang kemudian dipandang sebagai suatu alasan yang kurang relevan.
Maka dengan fakta diatas, setidaknya ada beberapa saran yang dapat kita diskusikan, diantaranya adalah:
Pertama, Diharapkan kepada pihak lembaga untuk dapat menelaah secara mendalam tentang sistem permakanan ini, terutama terhadap aspek hukumnya. Ditakutkan ada konsekuensi hukum dikemudian hari yang berkaitan dengan  sistem ini.
Kedua, Lembaga sebaiknya memberikan tunjangan hidup kepada mahasiswa secara cash, tanpa ada konsekuensi keharusan bagi mahasiswa untuk makan di kampus. Alasannya adalah asrama mahasiswa tidak satu tempat, sistem kesepakatan dengan pihak katering itu cukup merepotkan dalam sistem pembayarannya (karena menyangkut komitmen pembayaran semua mahasiswa), dan alasan makan dikapus dipandang sebagai bentuk pembinaan belum terlalu argumentatif.
Ketiga, jika memang kebijakan permakanan dengan sistem jadup ini diterapkan, maka pegawai yang didapur perlu dipikirkan nasibnya, terutama untuk pesangonnya.
Demikian tulisan ini dibuat, semata-mata hanya untuk berbagi informasi dan lebih mengekspolre persoalan sistem permakanan ini. Pada akhirnya kita semua berharap kebijakan yang diambil itu, merupakan kebijakan yang dapat memberikan rasa aman dan kenyamanan semua pihak. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar